Pages

Monday, October 19, 2009

Hanya Dia dan Dewanya.

Tuan, aku tidak pernah sekalipun mengadu padamu. Ya kan?
Karena, aku tidak mau membebanimu dengan masalahku.
Tapi sekarang, entah mengapa yang ku inginkan adalah kamu tersenyum untukku saat ini.

Ternyata aku salah!
Aku tidak sekuat itu, Tuan.
Aku membutuhkan anda juga.
Aku ingin, seperti yang lainnya.
Bercerita pada anda tentang masalah pribadi, tanpa memikirkan masalah anda.
Tapi aku memikirkan masalah anda.

Aku berjanji untuk yang pertama dan terakhir.
Aku mau anda mendengarkan saya.
Aku janji, yang terakhir!
Tak akan ku ingkari.

Anda yang membuat saya kesini.
Karena anda, saya menyayangi anda.
Dan anda membuat saya mengenal orang-orang ini.
Mereka, Tuan.

Saya pernah berjanji pada diri sendiri.
Saya akan memegang kepercayaan anda.
Untuk selamanya bersama orang-orang yang juga anda percayakan untuk saya.
Saya sangat menghargai kebaikan anda.
Karena, secara kebetulan, disengaja, anda memberikan pengganti untuk kedukaan lampau saya.
Setidaknya berhasil membuat saya sedikit dapat tersenyum.

Awalnya semua baik, Tuan.
Saya, mereka, mencintai anda, memuja anda.
Saya senang melakukannya.
Saya mencintai anda.
Saya mencintai mereka.
Saya mencintai keluarga yang sudah kami buat bersama-sama, untuk tempat bernaung kami, mengobati rasa rindu kami yang teramat sangat pada sosok anda.

Saya menyukai saat pertama saya di sini.
Dimana saya hanya tinggal menuruti.
Dimana kami masih memeluk erat.
Dimana kami masih bernyanyi bersama.

Tapi sekarang?
Kami merenggangkan pertahanan.
Kami melepaskan tangan.
Kami membiarkan orang lain berkata jelek tentang kami.
Kami membiarkan orang lain mengambil alih kendali kami.
Tak ada perlawanan dari kami.

Hanya sedikit perlawanan dari saya.
Si anak baru ini, yang terlanjur mencintai kakak-kakak dalam rumahnya.
Si bungsu ini yang melawan.
Maaf, saya tidak gila hormat.
Sumpah saya demi gunung Sinai, saya tidak minta sedikitpun disegani.
Tidak!

Tapi memang beginilah kenyataannya.
Entah, apa saya yang terlalu bodoh?
Atau saya yang merasa mampu melawan?
Saya mengukuhkan kepercayaan diri saya untuk maju mempertahankan rumah kita.

Saya pikir saya bisa.
Saya pikir ini mudah.
Saya pikir saya tak butuh kakak-kakak saya.
Saya tak butuh Dewa saya.
Saya bisa bertahan sendiri.

Tapi akhirnya saya harus menerima kenyataan pahit yang harus saya angguki.
Saya kalah.
Saya gagal.
Saya lemah.

Saya lemah, persenjataan saya tak didukung oleh kakak-kakak saya.

Sekali lagi.
Apakah saya yang terlalu bodoh?
Tetap bertahan meskipun lambat laun kakak-kakak saya lari dengan membawa nama aktifitas mereka.
Yang menyakitkan, saya pernah mendapati mereka bebas.
Tapi mereka masih tidak sudi membantu menjaga rumah kita.
Ironis ya, Tuan ?

Saya sakit.
Saya kecewa.
Saya lelah.
Saya depresi.
Dan saya berpikir...

Saya yang akan mengundurkan diri.
Sekarang, tidak main-main.
Saya tertekan.
Setengah jalan saya sudah tertempuh sekarang.

Dan anda tau?
Ya, mereka menahan saya.
Entah karena mereka benar-benar menyayangi saya, adik bungsu mereka.
Atau karena mereka tidak mau kehilangan 'si-penjaga-rumah-yang-bodoh' seperti saya ?

Mereka mencaci saya.
Mereka bilang saya jahat.
Saya tega.
Saya kejam.
Saya hina.
Saya tidak sayang.
Saya tidak punya perasaan.
Dan sederetan pikiran-pikiran mereka akan sosok saya sebagai Si Hina.

Lucu, bukan?
Baiklah. Mereka yang memutar balikan fakta seakan saya lah yang membunuh perasaan mereka.
Saya tak perlu membalasnya, hanya saya dan hati saya yg tau apa yang sebenarnya terjadi.
Mereka mungkin tidak menyadari, merekalah yang membunuh nadi saya.
Mereka membunuh kepercayaan diri saya.
Mereka meremas sadis kepedihan hati saya.
Tak berperasaan.

Menurut anda siapa yang salah dalam hal ini, Tuan?
Saya lagi, ya ?

Saya pikir kepergian saya dapat membuat mereka bangkit.
Saya pikir mereka akan bahagia.
Saya pikir mudah saja.

Perlu diingat!
Dalam hal ini, saya juga bukan pihak yang diuntungkan.

Dan akhirnya, saya pergi dari mereka.
Meninggalkan saudara-saudara saya.
Sedikit luka tergores lagi saat saya menoleh ke belakang.
Rumah yang kumuh.
Tanah yang gersang.

Apakah saya akan mengikuti jejak saudara sulung saya terdahulu?
Berada di posisi yang rumit. Hingga akhirnya gugur...

Saya mengingkari janji saya pada diri sendiri.
Biarkan berjalan sebagai mana semestinya.
Kita kan baik-baik saja.
Tanpa saya, tak ada tangis lagi.
Lega bukan? Si pembuat masalah kini menyadari posisi dia yang sebenarnya.

Untuk anda dengar, Tuan.
Yang pertama dan terakhir dari saya.

0 comments:

Post a Comment

what do you think?